Rabu, 25 November 2020

Terimakasih, aku bahagia!

Kamu tidak butuh sejuta orang yg menyukaimu untuk jadi orang yg bahagia.
Cukup segelintir, atau bahkan satu saja sudah cukup.

Terimakasih untuk semua yg mau mengerti
Terimakasih untuk semua yg masih mau percaya
Terimakasih untuk semua yg tahu perjuanganku, lelahku dan masih berjalan disampingku
Terimakasih untuk semua yg mau membantu
Terimakasih untuk semua yg masih mau tersenyum
Terimakasih untuk semua pelajaran yg telah diberikan
Terimakasih karena begitu peduli agar aku jadi manusia lebih baik

Aku sedang menghitung kebaikan kalian
Terlepas tulus tidaknya bagiku itu tidak penting
Keberadaan kalian adalah anugerah dan pelajaran berharga dalam hidupku

Terlebih untukmu, rumah jiwaku.
Terimakasih karena bersedia mencintaiku dengan apa adanya diriku
Terimakasih karena selalu memberikan kehangatan dan ketulusan tanpa batas
Terimakasih karena mengajarkan apa artinya menjadi dewasa
Dan
Terimakasih karena selalu menjadi alasanku untuk berbahagia.


Jumat, 07 September 2018

Malaikat Kecil Untuk Arina #5



BAB V

Rintik-Rintik Cemburu


Kisah Arina

Aku sangat kecewa saat dokter mengharuskan proses bayi tabung kami ditunda selama tiga bulan, Mas Amran dan Ifa dengan sabar selalu mendukungku. Setelah pulih dan keluar dari rumah sakit aku lebih giat menerapkan gaya hidup sehat. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum kehadiran seorang malaikat kecil dalam rumah tangga kami.

Hidup berdekatan dengan istri kedua tak sesulit yang dikatakan orang-orang, setiap kali aku berbelanja di tukang sayur ujung komplek semua ibu-ibu yang ikut belanja selalu dipenuhi rasa ingin tahu tentang keadaan rumah tangga kami,

“Mbak Rina, maaf ya kepo… memang gak cemburu suaminya nikah lagi?” tanya seorang ibu separuh baya sambil memilih daun bayam, serentak semua ibu-ibu yang lain ikut diam menanti jawabanku,

“Belum ada alasan untuk cemburu Bu, sampai saat ini Mas Amran belum mau dekat-dekat dengan madunya” jawabku sambil tersenyum, beberapa ibu-ibu ber “Oohhh” sambil mengangguk,

“Memangnya yang minta dimadu Mbak Rina ya? Apa karena Mbak Rina mandul?” tanya seorang ibu lagi yang langsung disikut oleh ibu yang lain,

Nyuuuuut, rasanya hati ini seperti dicubit mendengar pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan tentang kebenaran bahwa aku tak lagi bisa memiliki anak. Aku menghela napas,

“Yang penting ikhtiarnya kan Bu? Saya dan Mas Amran minta doa saja dari ibu-ibu sekalian semoga apa yang sedang kami usahakan di ijabah oleh Allah dan senantiasa diberi kebahagiaan dalam rumah tangga kami. Mari Bu, saya duluan ya.” aku pamit setelah membayar belanjaan, sulit juga ternyata berusaha tetap bersikap ramah setelah hatiku terasa nyeri meladeni rasa ingin tahu mereka yang luar biasa.

Dalam perjalanan pulang aku melihat Ifa dari ujung gang sedang menuju ke rumah kami, kami tiba bersamaan di depan rumah dan langsung mempersilahkan Ifa masuk ke dalam,

"Mbak Rin baru pulang belanja? Ifa sudah masak banyak di kontrakan makanya sekalian antar makanan kesini." ujar Ifa sambil menyerahkan makanan yang dibawanya dari rumah.


"Alhamdulillah makasih banyak ya Fa, sebentar lagi Mas Amran pulang kerja habis sholat jumat nanti. Kita makan bareng saja disini." aku mengajak Ifa masuk ke dalam rumah, mengambil piring untuk menempatkan makanan yang dibawanya dari kontrakan, Ifa membantuku menyiapkan meja makan untuk makan bersama sebelum Mas Amran pulang,


Tiiinn Tiiiin

Tak berapa lama kemudian suara klakson mobil terdengar dari depan pagar menandakan Mas Amran telah pulang berbunyi, aku segera berlari membukakan pintu pagar. Keluar dari mobil Mas Amran mengecup keningku dan merangkulku masuk ke dalam rumah, dia sedikit terkejut saat melihat Ifa sedang menyiapkan meja makan,

"Lho ada Ifa toh, Dek Rin?"


"Iya Mas, Ifa datang antar makanan jadinya Rina ajak makan siang sekalian. Lebih rame lebih seru kan." Mas Amran tersenyum lembut dan mengangguk pelan, dia menarik kursi meja makan dan menyuruhku duduk, Mas Amran baru akan mengambil piring saat Ifa mencegahnya,


"Mas Amran duduk saja biar Ifa yang siapkan piringnya" ujar Lathifa cepat, dengan sigap tangannya menyendok nasi dan lauknya dan menyerahkannya kepada suamiku. Mas Amran menatapku sekilas sebelum menerima piring dari Lathifa. Biasanya akulah yang selalu dimanja oleh Mas Amran, sejak awal pernikahan bisa dibilang aku sangat jarang bisa melakukan tugas melayani suami seperti yang dilakukan Ifa saat ini, karena sebelum sakit aku dan Mas Amran sama-sama sibuk dengan dunia pekerjaan masing-masing. Mas Amran adalah suami yang sangat pengertian dan mandiri, serta tak pernah keberatan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Agak sedikit terasa ganjil melihat suamiku dilayani oleh wanita lain di dalam rumah kami sendiri.




Kisah Lathifa

Kunjunganku kerumah Arina dan Mas Amran hari ini perlahan-lahan mulai mengikis harapanku untuk balik dicintai oleh suamiku sendiri. Aku bisa melihat rasa cinta antara mereka berdua begitu kuat hanya dari cara mereka saling memandang. Tiba-tiba aku merasa malu, tiba-tiba aku merasa begitu egois dengan menyetujui pernikahan kedua ini. Aku merasa telah membohongi Arina karena aku telah mencintai suaminya diam-diam, bahkan mungkin jauh sebelum Mas Amran mengenal dan jatuh cinta pada Arina.

Sepulangnya Arina dari rumah sakit aku lebih banyak menemani Arina saat Mas Amran kerja, terkadang aku masih mengurus keperluan toko keluargaku. Aku dan Mas Amran tak lagi punya kesempatan berdua sepulangnya Arina dari rumah sakit. Bertemupun hanya saat aku berkunjung kerumah mereka. Seminggu sudah umur pernikahan kami dan Mas Amran sepertinya lebih memilih untuk tidak menyakiti Arina dengan tidak berdekatan denganku. Aku tahu aku berhak memintanya menemaniku tapi rasa cintaku padanya selalu membuat lidahku kelu. Dan lagi aku merasa seperti sedang mencoba menggoda suami orang karena ada Arina dimanapun kami berada. Terlebih saat makan siang tadi aku berinisiatif mengambilkan makanan untuk Mas Amran, hal itu sudah menjadi kebiasaan dalam keluargaku. 

Aku selalu menyaksikan Ibuku mengambilkan makanan untuk Ayah dan anak-anaknya, saat kecil dulu aku berpikir Ibu sedang mengatur jumlah makanan untuk keluarga kami yang pas-pasan agar sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Tapi setelah dewasa dan usaha penjualan toko kami semakin maju ternyata ibu masih melakukan hal yang sama, bahkan pada adik-adik iparku dan cucu-cucu nya. Aku melihat Ibuku adalah sosok yang berbakti pada keluarga dengan melayani sepenuh hati, hingga meskipun keluarga kami bisa dibilang kekurangan materi tapi kami tetap merasa bahagia karena tak pernah merasa kekurangan cinta kasih seorang ibu. Aku ingin menjadi seorang wanita seperti Ibu, yang menjadi kebutuhan utama seluruh anggota keluarga, dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya.

Tapi tatapan Arina tadi siang segera menyadarkanku bahwa pernikahanku dengan Mas Amran tidak lantas menjadikanku seorang ratu dalam rumah tangga layaknya ibuku dalam keluarga kami. Aku hanyalah seorang madu, yang meskipun menikah atas ijin istri pertama aku tetaplah wanita kedua, yang meskipun Mas Amran berjanji akan bersikap adil tapi cintanya tetap hanya milik Arina seorang.

Dalam kamar kontrakan aku menangis dalam diam, menangisi cinta yang tak bisa kuungkapkan kepada suamiku, padahal rasa cinta ini rasanya seperti sungai yang meluap-luap. Dan orang yang kucintai duduk tepat di hadapanku bercanda dan tertawa penuh cinta dengan orang yang dicintainya. Rasa bersalah membanjiri pikiranku saat mengingat airmata ibu yang jatuh saat pertama kukatakan bahwa aku akan menikah dan menjadi istri kedua, aku tahu ibu adalah orang yang paling keberatan dengan pernikahan ini, tapi saat kukatakan bahwa aku berjanji akan bahagia apapun yang terjadi, ibu memelukku dengan airmata berderai dan memberi restunya.

Namun yang terjadi saat ini aku tidaklah baik-baik saja, cinta yang tadinya kuanggap sebuah ketulusan berubah menjadi sebuah keharusan untuk memiliki, kupikir aku mampu mencintai Mas Amran tanpa mengharapkan perasaanku terbalas, tapi semakin lama aku berada dalam lingkaran kehidupan Arina dan Mas Amran rasa keegoisan ini semakin besar dan tanpa kusadari perlahan-lahan telah menelan semua rasa syukur dan kebahagiaanku.


Kisah Amran

Sepulangnya Lathifa dari rumah kami Arina jadi sedikit lebih pendiam, entah karena lelah atau memang ada hal yang mengganggu pikirannya, aku menghampiri Arina yang sedang mengumpulkan piring kotor untuk dibawa ke dapur, berniat untuk membantunya mencuci piring aku menyalakan air dan menyiapkan sabun saat Arina datang dan menyelaku,

"Mas istirahat saja ya, biar Arina saja yang cuci piring. Mas pasti capek belum istirahat sejak pulang kantor tadi" ujarnya sambil menaruh piring-piring kotor di dapur, aku menatapnya heran,

"Lho kok tumben Dik Rin tidak mau dibantu beberes? padahal biasanya aku dapat kecupan terimakasih kalau sudah selesai bantu bantu pekerjaan rumah" aku menggoda istriku yang langsung tersipu malu, Arina mengecup pipiku lembut dan berkata,

"Mulai sekarang Arina mau belajar jadi istri yang lebih baik buat Mas Amran, dan berlatih jadi Ibu yang baik untuk anak kita kelak. Harus ada kemajuan yang berarti saat Arina resign dari kantor dan memutuskan jadi ibu rumah tangga" ujarnya lugas dan penuh semangat, aku terharu mendengar perkataannya. Tadinya aku sempat khawatir saat memintanya berhenti dari pekerjaannya Arina akan stress, tapi jika melihat semangatnya saat ini aku menjadi sedikit lega.

Aku sedang membereskan meja makan saat melihat sebuah dompet tergeletak di meja ruang keluarga, aku segera memanggil Arina yang sedang mencuci piring di dapur,

"Dik Rin, ini dompet siapa ya?" tanyaku, Arina segera menuju ruang keluarga,

"Aduh Mas, sepertinya dompet Ifa ketinggalan, bagaimana ya kalau Ifa butuh beli sesuatu uangnya tidak ada?" ujar Arina dengan tampang khawatir,

"Ya sudah biar Mas yang antarkan dompet ini ke kontrakan Ifa, Dik Rin langsung mandi saja ya, kan nanti sore ada acara pengajian di rumah bu RT" aku beranjak mengambil kunci mobil,

"Mas mau ke kontrakan Ifa naik mobil?" tanya Arina lagi, aku tertegun sebentar, baru teringat kontrakan Lathifa hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami, aku kembali menaruh kunci mobil dan tersenyum polos kepada Arina yang menjulurkan lidahnya mengejekku, aku mengejarnya namun ia sudah menutup pintu kamar mandi saat aku mendekat, dari dalam terdengar tawanya sambil berteriak,

"Cepat pulang ya Mas!"

Berjalan kaki melewati komplek perumahan kami tak senyaman biasanya seperti saat-saat dulu aku dan Arina sering lari pagi bersama, terutama sapaan para ibu-ibu yang sering berkumpul diujung gang perumahan, sedikit banyak aku bisa mendengar kasak kusuk suara mereka di belakangku saat aku telah berlalu agak jauh dari mereka,

"Lihat tuh, pasti mau kerumah madunya. Kok tega ya istri lagi sakit begitu suaminya malah kawin lagi" aku hanya bisa beristighfar dalam hati mendengar gunjingan tentangku, pantas saja akhir-akhir ini Arina lebih sering minta diantar belanja ke supermarket, saat kutanya mengapa tidak belanja di tukang sayur langganan, Arina menghela napas dan berkata sudah bosan menghadapi keingintahuan ibu-ibu komplek tentang rumah tangga kami.

Sampai di depan rumah Ifa aku mengucap salam dan mengetuk pintu, agak lama kutunggu sampai Ifa membukakan pintu untukku. Tadinya kupikir karena ia sedang di kamar kecil atau sedang mandi sampai aku melihat ada hal yang aneh pada wajahnya,

"Mas, ada apa kemari?" tanya Ifa terlihat sedikit kaget melihatku berdiri di depan pintu rumahnya, aku mengangkat dompetnya yang kubawa dari rumah

"Dompet Ifa tertinggal dirumah jadi aku datang mengantarkan ini takut Ifa butuh sesuatu untuk dibeli" ujarku, Ifa menunduk demi melihatku yang sedang memperhatikan wajahnya lebih detil,

"Dik Ifa menangis?" pertanyaan itu terlontar begitu saja setelah memastikan mata yang merah dan bengkak itu memang karena tangisan, Ifa menyeka sisa air mata diujung kelopak matanya,

"Ifa gak apa-apa, Mas..." jawabnya cepat dengan senyum terpaksa, dia menunduk lagi. Aku mengingat-ingat kembali peristiwa makan siang kami tadi, aku khawatir ada kata-kata atau perlakuanku maupun Arina yang menyakitinya, Tapi sejauh yang kuingat acara makan bersama kami tadi siang benar-benar hanya makan siang bersama yang menyenangkan, aku dan Arina banyak bercanda dan kelihatannya Ifa juga menikmati percakapan kami.

"Kalau memang ada masalah atau ada hal yang membuat Ifa sedih, Ifa bisa cerita semua padaku. Bagaimanapun aku sudah jadi suamimu dan kebahagiaanmu adalah juga tanggung jawabku" ujarku mengangkat wajahnya yang tertunduk sejak tadi, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya yang setelah kuperhatikan lebih dekat sangat lentik. Kesedihan tergambar jelas dalam matanya yang hitam sekelam malam, isaknya mulai terdengar dengan tubuh yang bergetar. Lathifa menghambur ke pelukanku yang langsung merengkuhnya dan menangis tersedu-sedu dalam dadaku. Aku mengajaknya masuk kedalam rumah agar tak lagi bertambah gunjingan tetangga tentang keluargaku.

Bersambung.....

Sabtu, 11 Februari 2017

Malaikat Kecil Untuk Arina #4

Chapter #4 :
Rasa Yang Berbeda

Kisah Arina
Aku membuka mata dan melihat kamar rumah sakit yang putih bersih, Mas Amran terlihat sedang termenung menatap keluar jendela, entah apa yang sedang dilihatnya atau pikiran apa yang sedang berlarian dalam kepalanya, wajahnya sendu dan penuh rasa khawatir,
“Mas…” panggilku lemah, dia menoleh dan tersenyum, segera menghampiri tempat tidur dan duduk disisiku,
“Dik Rin sudah bagun? Masih lemas badannya?” tanya Mas Amran sambil mengusap kepalaku,
“Kenapa aku dirumah sakit Mas?”
“Kata dokter Dik Rin kekurangan darah, komplikasi pasca operasi dan radioterapi, jumlah sel darah merah menurun jadi Arina butuh donor darah sesegera mungkin. Kebetulan stok di PMI sedang kosong, dan Mas sudah cek ternyata darah Mas tidak cocok buat Arina, semoga saja ada orang yang bisa segera membantu kita. Adik jangan cemas ya.” ujar Mas Amran, padahal sudah jelas dialah yang lebih khawatir. Aku mengangguk dan tersenyum, dia balas tersenyum dan mengecup keningku lembut.
Saat jam makan siang Ifa datang menjenguk bersama keluarga Mas Amran, aku meminta maaf pada Ifa karena telah merusak acara pernikahannya dan membuat semua orang khawatir,
“Tidak perlu meminta maaf, asalkan Mbak Rin selalu sehat Ifa sudah cukup lega.” ujarnya lembut, aku memeluknya dengan hangat, Mas Amran tersenyum melihat kami berpelukan.
“Bagaimana kabar pendonor darah yang dibutuhkan Arina, Mas?” tanya Ibu mertuaku pada Mas Amran,
“Belum ada Bu, kami sedang berusaha mencari lewat teman-teman dekat kami tapi belum ada yang darahnya cocok dengan Arina.” jawab Mas Amran
“Golongan darahmu apa Mbak Rin?” tanya Ifa
“AB rhesus positif” jawab Mas Amran cepat, “Dik Ifa bisa donor? golongan darahmu apa?” sambungnya lagi
“Bisa, Ifa juga AB positif Mas” jawab Ifa, mata Mas Amran berbinar-binar seolah menemukan berlian, segera ditariknya tangan Ifa keluar ruang perawatan, semua yang ada dalam ruangan menghela napas lega, terlebih aku yang mengetahui bahwa golongan darah aku dan Ifa sama, bukan hanya karena masalah donor darah, tapi lagi-lagi kenyataan itu menambah kesempatan keberhasilan proses bayi tabung kami kelak.
Aku mendapatkan donor darah dari Ifa, tapi meskipun sudah di transfusi aku masih harus tetap dirawat di rumah sakit beberapa hari lagi untuk masa pemulihan. Sambil menunggu kesehatanku pulih aku, Mas Amran dan Ifa melakukan persiapan bayi tabung, tentu saja Mas Amran dan Ifa terlebih dahulu yang melakukan serangkaian tes kesehatan mengingat kondisiku belum terlalu sehat, rencananya aku akan menyusul sebelum pulang dari rumah sakit saat kesehatanku sudah membaik.
Selama di rumah sakit aku lebih banyak ditemani Ifa, karena Mas Amran sudah banyak cuti dari kantor selama aku operasi dulu. Sambil menunggu Mas Amran pulang kantor aku dan Ifa biasanya banyak mencari tahu tentang proses bayi tabung, saat Mas Amran datang Ifa pulang kerumah dan akan kembali esok pagi sebelum Mas Amran berangkat kerja. Aku sangat bersyukur di kelilingi oleh orang-orang baik yang sangat menyayangi aku. Semangat hidupku yang sempat meredup perlahan menggelora kembali, aku ingin segera sehat, aku ingin segera memulai proses bayi tabung agar aku bisa segera memeluk malaikat kecilku dalam dekapan.

Kisah Lathifa
Lima hari sudah Arina dirawat di rumah sakit sejak hari pernikahanku dengan Mas Amran, lima hari juga statusku telah sah sebagai istri kedua dalam rumah tangga mereka. Selama lima hari aku lebih banyak mengamati dan semakin mengenal Arina lebih dekat, aku sempat mendengar pembicaraan Mas Amran dan dokter pagi hari saat dokter visite ke kamar Arina, Mas Amran juga bertanya tentang berapa lama lagi Arina boleh menjalani proses bayi tabung,
“Arina belum lama ini menjalani proses radioterapi Pak Amran, kami juga berharap calon bayi kalian akan jadi anak yang sehat dan sempurna tapi setidaknya dalam tiga bulan ini proses bayi tabung tidak bisa dilakukan karena kami khawatir masih ada sisa radiasi dalam tubuh Arina yang akan mempengaruhi kesehatan janin kalian nantinya” jelas dokter pada Mas Amran di depan kamar Arina, wajah Mas Amran terlihat sedikit kecewa mendengar penjelasan dokter.
Aku dan Mas Amran memang telah melakukan pemeriksaan kesehatan dan hasilnya kami siap menjalani proses bayi tabung, hanya kondisi Arina yang meskipun terlihat sudah bugar namun dokter kandungan tetap menolak mengambil sel telurnya berkaitan dengan pengobatan radioterapi terakhir yang dijalani Arina. Tiga bulan, waktu yang diberikan dokter sebelum proses bayi tabung dapat dilakukan, dan selama tiga bulan kedepan aku tidak punya bayangan apa yang harus kulakukan sebagai istri kedua padahal tujuan dari pernikahan ini adalah sebagai rahim pengganti.
Setiap kali pulang kerja Mas Amran akan selalu menginap di rumah sakit menemani Arina, sesekali ia mengantarku pulang sebelum kembali ke rumah sakit, aku yang terbiasa mandiri sejak kecil dan tiba-tiba ada pria yang memaksa mengantarkan pulang hingga ke dalam rumah merasa sedikit canggung sekaligus terharu. Terkadang Mas Amran membelikan aku makanan agar aku tidak perlu repot memasak di rumah kontrakan sederhana yang ia sewakan untukku,
“Maaf ya Dik Ifa, saya cuma bisa memberikan ini. Semoga Arina segera sehat jadi kapan-kapan kita bisa makan bersama.” ujar Mas Amran, aku tersenyum kepadanya,
“Ifa senang bisa membantu Mas dan Arina, Ifa juga berdoa agar Arina segera sehat dan segera pulang kerumah.” balasku
“Saya pamit kembali ke rumah sakit ya Dik”  Mas Amran berjalan kembali ke mobilnya, aku memandang bahu lebarnya dari belakang,
“Eh Mas....” ujarku cepat sebelum tangan Mas Amran meraih gagang pintu mobil, ia terhenti dan berbalik menatapku penuh tanya,
“Ummhhh...” aku menggumam tak jelas, ragu-ragu dan menyesal telah membuatnya berbalik badan, kini aku harus bisa memberikan alasan yang masuk akal atau justru harus melontarkan keinginan konyolku kepadanya, dia masih menunggu dengan sabar,
“Ada apa Dik Ifa?” akhirnya Mas Amran bertanya dan kembali mendekat kepadaku,
“Aku boleh meminta sesuatu? Ahh... tapi tak usahlah!” jawabku cepat, wajah Mas Amran semakin terlihat penasaran kali ini,
“Dik Ifa butuh sesuatu? Bilang saja tak usah sungkan, bagaimanapun saya telah jadi suamimu.” kalimat Mas Amran semakin memberiku keberanian,
“Sebelum Mas pergi, Ifa boleh cium tangan Mas Amran?” akhirnya permintaan itu keluar dari bibirku, aku menatap Mas Amran yang sedikit terkejut, seumur hidup baru kali ini aku merasa sangat malu, mungkin jika ada cermin aku bisa melihat wajahku memerah seperti tomat karena malu.
Sekejap kemudian Mas Amran tersenyum, tangan besarnya mengusap kepalaku dan memberikan tangan satunya kepadaku, dengan ragu-ragu aku menggenggam tangannya dan menempelkannya di keningku. Ini kedua kalinya kami berpegangan tangan, pertama kali saat ia menarikku untuk mendonorkan darah saat Arina pingsan di hari pernikahan kami, mungkin baginya itu bukan sesuatu yang spesial, tapi bagiku bisa merasakan kehangatan tangannya dan merasakan genggamannya adalah hal yang luar biasa dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku sering melihat teman-temanku yang telah menikah selalu mencium tangan suami mereka yang mengantarkan mereka ke majelis, karena sekarang aku telah menikah dan juga diantarkan pulang oleh suamiku maka aku hanya penasaran bagaimana rasanya mencium tangan seorang suami seperti yang dilakukan oleh teman-temanku.
Aku melepaskan tangan Mas Amran dan menunduk sambil tersenyum malu, Mas Amran masih menatapku juga sambil tersenyum, mungkin ia tidak mengira akan menerima permintaan konyol dari istri keduanya,
“Masih ada permintaan lainnya?” tanya Mas Amran kemudian, aku menggeleng kuat-kuat dan mendorongnya ke arah mobil,
“Sana pergi nanti Arina lama menunggu” balasku, Mas Amran tertawa kecil dan masuk ke mobil,
“Aku pamit Dik Ifa, Assalamulaikum.” aku menjawab salamnya dan menyaksikan mobil Mas Amran perlahan melaju meninggalkan aku yang masih menatap mobilnya dari halaman rumah, setelah mobilnya berbelok di ujung gang barulah aku masuk ke dalam rumah.
Aku menghempaskan diriku ke tempat tidur, menatap tangan yang baru saja digenggam Mas Amran, masih terasa hangat. Menyentuh kepalaku yang barusan dibelainya, masih terbayang lembutnya. Rasanya hatiku dipenuhi oleh bunga-bunga, mungkinkah ini yang dirasakan oleh orang yang sedang jatuh cinta?!

Kisah Amran
Seumur hidupku aku tidak pernah membayangkan akan memiliki dua istri, bahkan aku cenderung membencinya setiap kali ada temanku yang menikah lagi dan istri keduanya membuat kehidupan istri pertama menderita. Karena sejak kecil aku telah diajarkan untuk selalu menghormati wanita oleh ayah dan ibuku, ayah dan ibu adalah panutanku dalam kehidupan rumah tangga, kedekatan dan kemesraan mereka tak luntur dimakan usia, ayah memang sering membuat ibu kesal karena kecerobohannya tapi ayah tak pernah membuat ibu menderita. Juga ibuku yang sangat sabar dan pengertian, tanpa mengeluh selalu merawat ayah yang mulai sakit-sakitan karena penyakit tuanya. Lalu saat bertemu Arina yang telah benar-benar membuatku jatuh cinta, aku langsung yakin ingin menghabiskan masa tuaku bersamanya, Arina seolah menjadi pengganti Ibu yang bersedia merawatku, menjadi sahabat tempat bertukar pikiran dalam mengambil keputusan, juga menjadi sandaran saat beban kerja dikantor membuatku jenuh. Arina terlihat begitu sempurna dimataku sebagai seorang istri, hingga penyakit itu datang dan merenggut Arinaku yang ceria dan penuh semangat.
Dan kini hadir Lathifa dalam kehidupan kami, jujur saja aku sungguh tak tahu apa yang harus aku lakukan pada istri kedua yang tak disangka kudapatkan ini. Aku ragu apakah aku harus memperlakukan Ifa sebagai istri namun aku juga tak mau melukai Arina. Sementara jika hak-hak nya tidak kuberikan maka akulah yang akan berdosa sebagai suami yang dzalim. Keadaan ini sungguh membuatku dilema, sementara teman-teman di kantor justru iri dan dengan semangat menggodaku,
“Duh enaknya jadi Pak Amran, dicarikan madu oleh istrinya, coba istriku juga begitu pasti makin indah dunia ini” semua yang mendengarnya tertawa, aku hanya tersenyum simpul menanggapi kelakar teman kerjaku.

Dan aku cukup terkejut dengan permintaan Lathifa saat aku mengantarnya pulang malam ini, dia meminta mencium tanganku layaknya seorang istri yang diantar oleh suaminya, dia memang istriku dan aku memang suaminya, bukan hal yang dosa atau tak sopan meskipun dilihat oleh orang lain, hanya saja aku tak terbiasa menyentuh wanita selain Arina dan Ibuku. Yang membuatku tertarik hanyalah ekspresi takut dan malu di wajah Ifa, sejak pertama kali Arina membawanya kerumah kami Ifa selalu bersikap dewasa dan tenang, baru kali ini aku melihat sikapnya yang gelisah dan takut sekaligus malu seperti itu, wajahnya yang merah menahan malu membuatku harus menahan tawa agar ia tidak tersinggung. Arina adalah pribadi yang terbuka, masalah sekecil apapun akan ia bicarakan dengan orang-orang terdekat yang dia percaya. Tapi Lathifa terlihat lebih tertutup dan kejadian malam ini cukup memberi kejutan bahwa wanita yang selalu kuanggap dewasa itu juga bisa bersikap manja kepada suaminya.

Senin, 06 Februari 2017

Malaikat Kecil Untuk Arina #3

#3: Hari Pernikahan

Kisah Arina...
Satu minggu sebelum pernikahan Mas Amran dan Lathifa, kami memutuskan untuk menyewakan sebuah rumah di sebelah komplek perumahan kami untuk Lathifa. Rencana pernikahan ini adalah pernikahan sederhana tanpa pesta yang meriah, pihak keluarga Ifa sudah setuju, meskipun mertuaku masih sangat keberatan dengan pernikahan kedua suamiku tapi aku meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja. Mas Amran masih sibuk dengan urusan kantornya jadi akulah yang mempersiapkan dokumen-dokumen pernikahan, semua kesibukan ini membuatku sejenak melupakan masalah penyakitku, akhir-akhir ini aku banyak menghabiskan waktu bersama calon istri kedua suamiku, Ifa benar-benar wanita yang sangat lembut dan penyabar, aku mendapatkan sahabat sekaligus kakak yang selama ini selalu kuinginkan, untuk seorang wanita yang suaminya akan menikah dengan wanita lain, aku seolah tampak lebih bahagia dari kehidupanku sebelum kanker merenggut kesempatanku untuk menjadi seorang ibu. Setiap pulang kerja Mas Amran hanya tersenyum kecil mendengarkan ceritaku tentang persiapan pernikahannya, sesekali ia mengusap lembut kepalaku yang berbaring dalam pangkuannya, ia memang tidak terlihat antusias tapi ia tetaplah lelaki penuh komitmen yang selalu membuatku jatuh hati sejak pertama kali mengenalnya, terlebih aku sangat tahu Mas Amran sangat mencintaiku dan akan melakukan apapun untuk kebahagiaanku.


Kisah Amran...
Sudah satu minggu ini Arina terlihat lebih hidup, dan mirisnya hal itu karena ia sangat antusias dengan pernikahan keduaku. Hal yang paling kutakutkan adalah melukai perasaan wanita yang kunikahi dengan rasa cinta, dan bagaimana mungkin ia tidak terluka saat suaminya akan menikah lagi? aku sempat mempertanyakan rasa cintanya kepadaku apakah tak sebesar perasaanku kepadanya, karena aku tak ingin berbagi, karena bagaimanapun sulitnya kehidupan kami, aku hanya ingin melewati semua bersama Arina, istriku. Tapi saat aku melihat bekas luka operasi di perutnya yang masih merah, saat kulihat malam-malam penuh airmata yang ia tumpahkan dalam pelukanku, aku telah bersumpah dihari saat aku menjadikannya istriku bahwa aku akan selalu berusaha membuatnya bahagia. Maka ketika permintaan untuk menikah lagi itu muncul dari bibir mungilnya duniaku rasanya berputar tak tentu arah, dalam kasus lain memang banyak pria yang meminta menikah lagi kepada istrinya, tapi kali ini justru istrikulah yang meminta aku menikah lagi, demi kehadiran buah hati kami yang harus tumbuh dan lahir dalam rahim wanita lain. Dengan berat hati aku menyetujui permintaannya, dengan syarat dia yang harus mencarikan calon ibu bayi kami, dan berkali-kali aku selalu meyakinkannya bahwa ia tak akan terluka dengan keputusan yang ia ambil kali ini.

Wanita itu bernama Lathifa, usianya sedikit lebih tua dari Arina, wajahnya tentu tidak secantik istriku, tapi ada aura lembut yang terpancar saat menatapnya. Aku baru tahu bahwa wanita yang dibawa istriku kerumah untuk menjadi istri keduaku adalah adik kelasku saat kuliah dulu, aku memang tidak mengenalnya karena ada banyak teman wanita di kampus dan aku tidak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya ingat nama Annissa karena ia mahasiswi yang karya ilmiahnya kubantu atas permintaan dosen dan kabar yang tersebar justru aku akan menikahi Annissa. Tapi nama Lathifa sama sekali tidak pernah melekat dalam ingatan masa kuliahku dulu, sebetulnya aku masih sangat ingin menolak rencana pernikahan ini, tapi demi melihat Arina yang terlihat jauh lebih sehat setelah mendengar vonis dokter dan operasi pengangkatan rahim lidahku tak kuasa berkata-kata. Jadi aku lebih banyak diam dan menerima semua keputusan istriku, dia juga terlihat akrab dan rukun dengan Ifa, mereka baru saja bertemu tapi sudah terlihat seperti telah bersahabat sejak kecil, aku sedikit cemburu saat istriku kadang terlihat menggelayut manja kepada calon madunya, selama ini selain orangtuanya hanya kepadaku Arina selalu bermanja-manja, entah perasaan aneh apa yang kurasakan tapi aku lebih cemburu daripada istriku yang akan segera dimadu.


Kisah Lathifa...
Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku semakin mendekati hari pernikahan, akhir-akhir ini aku memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Arina, dia adalah wanita yang aktif dan ceria, sekilas orang-orang tak akan menyangka dia baru saja menjalani operasi pengangkatan rahim. Wajar saja Mas Amran sangat mencintai istrinya, Arina sangat cantik dan memiliki kepribadian yang menarik, meskipun sedikit manja tapi ia tak pernah merepotkan orang lain. Aku sering melirik Mas Amran mengamati kedekatan Arina denganku. Semua persiapan pernikahan kami diurus oleh Arina, sementara Mas Amran lebih terlihat cuek dan tak peduli seakan bukan dia yang akan menikah. Jujur saja aku sangat takut, aku takut dibenci oleh pria yang kucintai, aku juga merasa berdosa kepada wanita yang sangat baik ini karena memendam perasaan cinta kepada suaminya setelah semua kebaikan yang ia lakukan untukku. Tapi aku tak bisa mundur lagi, ini sudah menjadi keputusanku untuk membantu mereka menghadirkan malaikat kecil dalam kehidupan mereka, meski aku tak yakin apakah kelak aku bisa memiliki malaikat kecilku sendiri, aku hanya ingin bisa membahagiakan pria yang kucintai, dengan cara membahagiakan wanita yang dicintai olehnya.
Hingga tiba hari pernikahan aku tak banyak berbicara dengan Mas Amran, namun pada malam sebelum pernikahan dia menghampiriku yang sedang membantu keluarganya menyiapkan acara akad nikah esok pagi,
"Dik Ifa, bisa bicara sebentar di ruang tengah?" suara lembut Mas Amran memanggilku dari pintu dapur, Arina yang sedang duduk di meja makan melirik kami yang keluar dari dapur melewati ruang makan, dia terlihat ingin bangkit tapi entah apa yang membuatnya kembali duduk dan fokus dengan laptopnya. Jantungku berdegup kencang, apa yang akan dikatakan calon suamiku? kehidupan seperti apa yang menungguku setelah hari esok? apakah aku akan diabaikan layaknya istri palsu yang hanya dibutuhkan rahimnya saja?
Aku duduk di hadapan Mas Amran, dia terlihat berpikir sejenak sebelum mengambil nafas panjang dan berkata,
"Dik Ifa benar-benar sudah yakin dengan keputusan ini kan? Setelah hari esok saya tidak berharap akan ada kata penyesalan yang terdengar karena ini adalah keputusan kita bersama." ujar Mas Amran,
"Insya Allah tidak Mas, aku memang sudah bertekad membantu kalian dan semoga Allah meridhai apa yang kulakukan saat ini."terbata kubalas kalimatnya barusan, dia masih menatapku ragu
"Saya mencintai Arina dengan sepenuh hati..." lirih kalimat Mas Amran menusuk hatiku, dia melanjutkan "Saya tidak bisa banyak berjanji mampu membagi cinta sama rata untuk kalian kelak, tapi saya akan berusaha menjadi suami yang adil jadi mohon jika ada hal-hal yang membuatmu tidak nyaman sampaikan langsung kepada saya atau Arina karena bagaimanapun kita akan menjadi keluarga. Begitu juga jika kelak Allah mengijinkan anak kami lahir darimu, kau berhak menyayanginya sama besar seperti kami akan mencintainya, ini sudah menjadi keputusanku dan Arina sebelum kami bertemu denganmu." ujarnya tegas, aku menahan airmataku yang hampir jatuh, hatiku dipenuhi rasa syukur yang begitu besar, aku bahkan tidak pernah berharap bisa dicintai olehnya, tapi ia memperlakukan aku dengan sangat terhormat. Semakin aku mengenalnya semakin dalam hatiku dibuat jatuh cinta olehnya.
Pagi hari tiba, sepanjang malam mataku sulit terpejam, ini memang jauh dari bayangan pernikahan yang dulu kuimpikan saat remaja, tapi aku telah benar-benar jatuh cinta pada Mas Amran, jauh sebelum dia sadar tentang keberadaanku.
"Saya terima nikahnya Lathifa binti Marhum dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." ucap Mas Amran khidmat sambil menjabat tangan ayahku, terdengar dengungan "Sah!" dari para saksi yang hadir dalam akad nikah kami, Arina tersenyum kepadaku dengan mata berkaca-kaca. Aku mencium tangan Mas Amran yang telah sah menjadi suamiku, dengan lekat kupandangi wajahnya yang tampan tanpa malu-malu, dia tersenyum kepadaku, lengannya yg besar menarik Arina dan aku dalam pelukannya. Belum lepas dari pelukan Mas Amran tubuh Arina merosot jatuh lunglai ke lantai, wajahnya yang tadi tersenyum kini terlihat pucat, teramat pucat. Mas Amran sangat terkejut dan berteriak memanggil Arina, dengan masih memakai jas pengantin dia membopong tubuh Arina masuk ke mobil dan melesat menuju rumah sakit, meninggalkan aku yang masih termangu dan para tamu dengan tatapan bingung dan khawatir.

to be continue....

Minggu, 12 Juni 2016

Malaikat Kecil Untuk Arina #2

#2: Wanita Kedua

Kisah Arina...
Aku sangat bingung mencari calon ibu untuk janinku, sempat terpikir untuk mencari di internet dengan sejumlah bayaran tapi Mas Amran menolak keras hal ini,
"Carilah seorang wanita yg baik akhlaknya Dik, wanita yg kau kenal baik dan kau percaya untuk mengandung anak kita di rahimnya." nasehat Mas Amran yg melihat kegalauanku mencari calon ibu dari anak kami. Aku menawarkan kepada tetangga sebelah rumah, janda cerai beranak dua yang selalu baik kepada keluarga kami, dia menolak dengan alasan sudah terlalu tua untuk hamil lagi. Aku lebih berfokus kepada janda-janda karena lebih besar kemungkinan para gadis menolak permintaanku ini. Hingga suatu hari seorang wanita datang ke rumah, menawarkan diri untuk menjadi ibu dari anakku. Saat kutanya dari mana dia mendapat berita ia mengatakan bahwa ustadzah tempat dia mengaji yang memberitahu tentang kesulitanku dan ia tergerak untuk membantuku. Aku tidak bisa begitu saja percaya maka aku memberi waktu satu minggu padanya untuk lebih dekat pada keluarga kami. Aku mengenalkannya kepada Mas Amran sebagai temanku di pengajian, sepertinya Mas Amran sudah tahu akan dibawa kemana perkenalan itu karena dia selalu menatapku dengan tatapan khawatir setiap kali aku bertanya ini itu kepada Lathifa, nama wanita itu. Ketika dia mengatakan alumnus sebuah kampus tiba-tiba Mas Amran bertanya,
"Angkatan berapa?" aku baru teringat kampus negeri yang Ifa (begitu ia minta dipanggil) sebutkan adalah kampus Mas Amran dulu.
"Angakatan 36 Mas, fakultas ekonomi" jawab Ifa sambil tersenyum,
"Wah... satu tingkat dibawah saya" komentar Mas Amran singkat, hanya itu dan selebihnya aku yang lebih banyak bertanya. Ifa bukan janda, tapi terlalu tua untuk disebut gadis, usianya hanya satu tahun lebih muda dari Mas Amran. Parasnya ayu dan kalem dengan jilbab lebar yang sederhana, manis. Aku banyak bertanya tentang keluarganya, asal usulnya dan kehidupannya. Ifa anak pertama dari empat bersaudara, semua adiknya perempuan dan telah menikah, keluarganya memang tergolong cukup kekurangan namun Ifa tidak ingin membebani orangtuanya lebih jauh karena itu ia bersedia menikah dan menjadi istri kedua. Mas Amran lebih banyak menyimak percakapan kami, aku tahu dia masih merasa tak nyaman dengan ide rahim pengganti ini, aku yang duduk disampingnya mengelus punggung tangan Mas Amran mencoba membuatnya lebih nyaman. Saat ini yang ada dalam kepalaku hanyalah keinginan memiliki anak, bagaimanapun caranya. Lalu tiba-tiba saja kami sudah membahas tanggal pernikahan, wajah Mas Amran seketika menjadi pucat, kulirik Ifa sekilas wajahnya bersemu sebelum ia menundukkan pandangannya.
"Ifa... aku tak tahu bagaimana caranya menjelaskan hal ini, aku sangat ingin memiliki anak dan Ifa telah bersedia menolong kami, mulanya Mas Amran tidak setuju mengenai ide ini karena tak ingin aku terluka jika dia harus menikah lagi tapi aku yang terus memaksanya, karena itu....." aku kehabisan kata-kata penjelasan tapi sepertinya Ifa sudah mengerti apa yang kumaksud,
"Saya paham Mbak Rin, saya tidak akan pernah menuntut penuh hak-hak saya sebagai istri, saya juga rela dicerai jika nanti anak kalian sudah lahir dengan sehat dan selamat" ujar Ifa mantap. Hatiku lega, teramat lega mendengarnya, tapi Mas Amran masih menatapku dengan wajah yang tidak yakin.

Kisah Lathifa...
Benakku melayang pada kejadian tujuh tahun lalu saat menjadi mahasiswi baru di kampusku, dengan kampus yang demikian besar aku tersesat saat mencari letak perpustakaan, saat itulah aku pertama kali melihatnya, dengan punggung lebar dan suara yang tegas dan lantang sedang berbicara memberi instruksi kepada timnya, aku mendekat dengan ragu-ragu.
"Maaf, sepertinya saya tersesat..." ujarku pelan, dia berbalik menghadapku, aku sempat melihat matanya yang bersinar seperti bintang sebelum menundukkan kepalaku,
"Mau kemana?" tanya pria itu singkat,
"Perpustakaan" balasku cepat, dia berjalan menuju ke arahku lalu melewatiku tanpa kata-kata, aku berbalik dan tertegun menatap punggung lebarnya, tak lama berjalan dia berhenti dan berbalik menoleh ke belakang,
"Kenapa masih berdiri di sana? Perpustakaan lewat sini, kebetulan saya juga ada perlu disana" ujarnya lalu melanjutkan langkah dengan kaki panjangnya. Dingin, itu kesan pertamaku terhadapnya, seperti kerbau aku mengikuti langkahnya, sepanjang perjalanan banyak mahasiswi yang menyapanya ramah, aku tahu pria seperti dia pasti sangat populer di kampus, belakangan aku tahu namanya Amran, dia kepala angkatan sekaligus kepala senat yang baru terpilih, selama masa perkuliahan aku sering mendengarnya berpidato, atau datang berkunjung ke proyek fakultas kami, Kak Amran begitu kami para adik kelas memanggilnya, setelah lama di kampus aku tahu dia bukan orang yang dingin, dia hanya tegas dan cermat. Ketika masuk tingkat akhir dia menjadi asisten dosen setelah menyerahkan jabatan ketua senat kepada angkatanku, dia baik, cerdas dan sangat berwibawa, teman-teman perempuanku banyak yang coba menggodanya tapi Kak Amran selalu tegas pada mereka yang bertingkah berlebihan, sejujurnya akupun kurang suka melihat tingkah mereka, membuat risih dan mengganggu jika dilakukan di dalam kelas. Aku memang mengaguminya, dan berharap kekaguman itu tidak akan berkembang lebih lanjut menjadi perasaan cinta. Kami memang tidak dekat secara khusus, pertemuan kami hanya sebatas mengerjakan proyek kampus atau hubungan biasa antara mahasiswa dan asisten dosen. Aku tidak menyadari apa yang kurasakan untuk Kak Amran hingga berhembus kabar ia akan mengkhitbah temanku yang bernama Anissa, kabar itu menyebar cepat di seluruh angkatan, Anissa yang menjadi bahan gosip mendadak jadi terlihat begitu menyebalkan karena akan segera dilamar oleh idola kampus, padahal dia tidak berbuat atau berkata apapun, setiap kali ditanya oleh teman-teman ia hanya akan tersenyum dan berkata tidak tahu menahu tentang hal itu. Saat itulah pertama kalinya aku merasakan yang namanya cemburu, aku dan Anissa tidak pernah punya masalah apapun, hubungan kami selama ini selalu baik-baik saja. Lalu mendadak aku menjadi jaga jarak dengannya, malas mengobrol dan hanya menjawab seadanya ketika ditanya. Selama beberapa hari aku lebih banyak merenung tentang keanehan perasaanku sendiri, masih belum bisa mengakui bahwa mungkin ternyata tanpa kusadari aku telah jatuh cinta. Menanggapi kabar tersebut Kak Amran langsung bertindak tegas membuat klarifikasi bahwa ia belum ada rencana menikah dalam waktu dekat, aku tahu Annisa sedikit kecewa tapi entah mengapa aku merasa begitu lega, meskipun tak lama berselang hal yang membuatku kembali gundah terjadi, hari perpisahan dengan Kak Amran semakin dekat, sudah tiba waktunya bagi mahasiswa tingkat akhir untuk persiapan wisuda. Dan hari-hari berlalu bagaikan berlari, hari wisuda Kak Amran telah tertinggal jauh dibelakang, hari wisudaku menyusul tahun berikutnya, lalu hari pernikahan adik-adikku yang begitu mengharukan. Aku bukannya tak ingin menikah, sebelum adik-adikku menikah mereka telah beberapa kali mencoba mencarikan suami untuk kakaknya yang semakin tua ini, beberapa kali ta'aruf gagal, baik dari pihakku maupun dari pihak pria belum menemukkan kecocokkan, sebagian besar mereka minder dengan tittle ku sebagai sarjana, dan akhirnya aku larut dalam bisnis perdagangan milik keluarga, semakin melupakan urusan pernikahan. Hingga sebuah kabar hinggap ditelingaku dari teman pengajianku di majelis, tentang perjuangan seorang wanita pengidap kanker yang berusaha memiliki anak dengan mencarikan suaminya seorang madu untuk dititipkan janin mereka. Sejenak aku termenung, begitu besarnya pengorbanan seorang wanita demi hadirnya malaikat kecil dalam rumah tangganya, dalam sisa usianya yang entah sampai kapan dia tidak kehilangan semangat berjuang. Aku terharu, dari mulanya hanya mendengar kisah sampai bertanya macam-macam kepada temanku tentang pasangan luar biasa ini. Dan betapa kagetnya aku saat temanku memperlihatkan foto pasangan yang sedang dilanda kesulitan itu, rasanya jantungku seperti turun ke perut ketika mengenali wajah pria yang sempat singgah dalam hatiku tujuh tahun lalu, aku masih ingat dengan jelas bahunya yang besar dan matanya yang bersinar seperti bintang, Mas Amran tidak banyak berubah dalam foto yang kulihat, hanya terlihat lebih gemuk dan tentu saja lebih bahagia.
"Mbak Ifa kok bengong sih? Segitunya terharu sama kisah Arina ya? Apa jangan-jangan mau mencalonkan diri jadi ibu pengganti?" goda temanku sambil mengambil foto dari tanganku, aku tersenyum menatapnya dan berkata mantap,
"Dek, mungkin aku mau coba bantu mereka dengan menjadi ibu pengganti untuk janin mereka" dan temanku hampir saja menjerit di dalam masjid jika ia tidak segera menutup mulutnya dan memandangku dengan mata tidak percaya.
Jodoh, jika memang benar Kak Amran adalah jodohku maka mungkin saja ini jalan yang diberikan Allah untuk mempertemukan kami, akan kujemput dan kujalani dengan sepenuh hati, aku tidak berniat merebut suami orang, wanita itulah yang menawarkan suaminya kepada orang-orang untuk mencari madu. Benih-benih cinta yang lama terkubur mulai tersembul keluar, untuk kali ini apakah aku bisa mengatakan perasaanku yang sejak dulu terpendam kepada Kak Amran, sebagai istri keduanya, Kak Amran sebagai suamiku.

Sabtu, 09 Mei 2015

Malaikat Kecil Untuk Arina #1

Kisah Arina...
Bagaimana rasanya jika kau harus melihat suami yang kau cintai menikahi wanita yang selama ini diam-diam mencintainya sejak dulu, dan pernikahan itu terjadi justru karena aku yang memintanya, atau lebih tepat memaksanya meskipun berulang kali ia menolak karena tak ingin melihatku terluka... bagaimana mungkin aku rela membagi kebahagiaan rumah tangga kami dengan orang asing hanya demi sebuah tujuan. Demi kelengkapan kebahagiaan setiap rumah tangga dan demi menjadi seorang wanita seutuhnya, aku rela membagi suamiku dengannya...

#1: Operasi
Kanker rahim stadium 2, kalimat yang meluncur dari mulut dokter itu seolah merobek mimpi dan harapan kami sebagai pasangan muda. Suamiku pucat pasi menerima kabar tentang penyakitku, tatapanku kosong menatap dinding rumah sakit yang putih bersih.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan belum terjadi penyebaran sel-sel kanker, kami lebih menyarankan untuk operasi pengangkatan rahim sesegera mungkin agar tidak terjadi penyebaran ke organ lain."
Operasi pengangkatan rahim, itu artinya kemungkinan kami untuk memiliki anak nol persen, bagaimana mungkin kami memiliki anak jika tempat janin berkembang diangkat dari tubuhku?
Aku tergugu dalam sujud panjang, berusaha bernegosiasi dengan kenyataan yang terasa begitu menyakitkan. Bukan karena kanker, tapi kenyataan bahwa aku tak akan pernah bisa memeluk anakku sendiri, darah dagingku, buah cinta kami berdua. Mas Amran, suamiku lebih terpukul karena sebagai anak tunggal desakan dari mertuaku untuk segera memiliki momongan begitu menggebu, satu tahun pernikahan tidak pernah absen setiap bulan ibu mertuaku bertanya tentang cucunya. Kami masih belum berani memberitahu kabar buruk ini mengingat kondisi ayah mertua yang rentan karena penyakit tuanya.
Hingga detik ini aku masih menjadi menantu kesayangan, rumah kami berdekatan karena Mas Amran ingin menjaga kedua orangtuanya, hampir setiap hari ibu mertuaku datang mengantarkan masakan kesukaan putra tunggalnya, aku tidak pernah keberatan beliau masih memanjakan anaknya karena aku paham beliau hanya memiliki satu anak yang sangat disayanginya yaitu suamiku.
Pada akhirnya dengan berderai airmata kedua mertuaku menerima kabar itu dari Mas Amran, aku hanya terdiam ketika ibu mertuaku memeluk tubuhku dengan gemetar,
"Nda apa-apa Nduk, yang kuat ya... yang sabar insya Allah akan ada hikmah dibalik semua ini." bisiknya penuh haru di telingaku, airmataku telah habis tumpah dipelukan Mas Amran, aku tersenyum lelah sambil mengelus pergelangan tangan ibu mertuaku yg beranjak sepuh itu memberi isyarat bahwa aku sudah tidak apa-apa. Penerimaan itu datang begitu saja, keputusan untuk melakukan operasi pengangkatan rahim segera dibuat. Dua minggu kemudian tubuhku telah terbaring kesakitan di ruang rawat dengan luka operasi besar di perutku. Saat masa pemulihan Mas Amran mengantarku berkeliling rumah sakit agar aku tidak bosan, tidak sengaja aku melihat sebuah poster tentang proses bayi tabung dengan harga yang lumayan terjangkau. Sebuah pikiran melintas dalam benakku,
"Mas, kita jalani proses bayi tabung yuk?" tanyaku dengan muka serius, Mas Amran menatapku penuh tanya,
"Lalu siapa yg akan mengandungnya dik Rin?" balas Mas Amran lembut, dia mengelus rambutku perlahan dengan penuh kasih sayang,
"Dokter bilang rahimku sudah dibuang tapi aku masih punya sel telur yg bisa dibuahi, kita bisa meminjam rahim wanita lain untuk anak kita Mas" ujarku penuh harapan, dalam sebulan terakhir baru kali ini Mas Amran melihatku begitu bersemangat, dia masih mengelus rambutku yg sedang duduk diatas kursi roda yg didorongnya sambil merenung sebentar.
"Itu mungkin saja, tapi apa Dik Rin siap dengan konsekuensinya?" tanya Mas Amran serius menatap mataku, aku mencari pengertian lebih jauh dari dalam mata gelapnya,
"Poligami." ujarnya pelan, "Dik Rin sudah tahu bayi tabung itu haram jika bukan dilakukan dengan muhrim kan?" aku termenung lagi mendengar kalimat terakhir Mas Amran, membayangkan aku harus berbagi suami dengan wanita lain. Suamiku yang lembut dan penuh kasih sayang, suamiku yang selalu punya kalimat ajaib untuk menenangkan aku kapanpun aku resah karena masalah-masalah kecil maupun besar. Apakah aku rela dia membagi tubuh dan cintanya kepada wanita lain? Malam itu mataku tak bisa terpejam, aku benar-benar menginginkan seorang anak dari darah dagingku sendiri, aku ingin memberikan cucu kepada mertuaku yang sangat menyayangi Mas Amran dan aku sebelum mereka bertemu ajalnya. Aku menatap tubuh Mas Amran yg duduk tertidur disebelahku, dengkur halusnya sudah lama mengalun sejak tadi, tangannya masih menggenggam tanganku. Kali ini aku yg membelai rambut tebalnya, kupandangi wajahnya dengan penuh haru, dia tidak pernah meninggalkan aku sendirian menghadapi penyakit ini, malam-malam penuh airmata yang kutumpahkan di dadanya ketika masa-masa penolakan dulu, dia tidak pernah lelah menghadapi tingkahku yang terlalu banyak khawatir tentang segala sesuatu. Mas Amran terbangun dari tidurnya karena belaianku, kulirik jam dinding sudah hampir memasuki waktu subuh,
"Dik Rin sudah bangun? Atau belum tidur?" tanya Mas Amran dengan mata merah, aku tersenyum menggeleng,
"Tahajud, Mas... aku mau dengar Mas baca Al-Qur'an lagi seperti kemarin" pintaku manja sambil mengelus tangan besarnya, dia balas tersenyum dan bangkit mengambil wudhu lalu melakukan apa yg kuminta.
Sudah hampir satu bulan setelah operasi keadaanku berangsur membaik, untuk mencegah penyebaran dokter menyarankan aku menjalani radioterapi. Sambil menjalani pengobatan aku masih tetap memikirkan tentang bayi tabung, diam-diam aku bertanya kepada dokter spesialis kandungan tentang kemungkinan memiliki anak melalui proses bayi tabung, dokter membenarkan kemungkinan itu ada dengan menitipkan janin kami di rahim wanita lain. Harapanku melambung, terlebih melihat orangtua kami yang semakin tua dan kerinduan memeluk buah hati kami yg begitu menggebu. Masalahnya hanya satu, Mas Amran selalu keberatan dengan hal ini, dia tidak mau menikahi wanita lain hanya untuk mengandung anak kami.
"Dik Rin tahu mas tidak sampai hati untuk menikah lagi" ujarnya lemah setiap kali kami berdebat mengenai hal ini,
"Mas tidak harus campur dengan dia kan? Kita hanya menitipkan janin kita di rahimnya" balasku keras kepala
"Dik, sebagai seorang suami tidak akan lepas dari yg namanya kewajiban dan tanggung jawab, jika mas memiliki lebih dari satu istri maka mas harus bersikap adil, mas tahu Dik Rin sangat ingin punya anak tapi Mas lebih tahu Dik Rin tidak akan sanggup berbagi tanpa merasa tersakiti" ujar Mas Amran putus asa menasihati istrinya yg keras kepala. Air mataku meleleh ke pipi, jika sudah begini Mas Amran akan langsung merengkuhku ke dalam pelukannya hingga tangisku reda, dia mengecup keningku perlahan
"Oke jika Dik Rin memaksa, Mas mau asalkan wanita itu pilihan Dik Rin dan berjanjilah kau tak akan menyesal dengan semua hal yg adik minta, Mas akan melakukan apapun asalkan Dik Rin bahagia" bisiknya ditelingaku, aku memeluknya semakin erat dengan ucapan terima kasih yg berulang kali kuucapkan.

Sabtu, 13 Desember 2014

Wanita Kedua

Rumah ini besar, dan di rumah besar inilah kita mulai rumah tangga kecil kita di tengah keluarga besarmu sayang. Dulu saat aku masih sendiri aku pernah bermimpi akan menikah dan memiliki rumah kecil yang bisa kuatur dan kudekorasi dengan semau hatiku. Tapi inilah yang kau tawarkan padaku setelah menikah, dengan segala pertimbangan dan kondisi aku memutuskan setuju untuk tinggal di rumah besarmu, rumah tempat kau dimanja dan dibesarkan oleh wanita pertamamu, ibu.
Ibumu adalah wanita yang sangat hebat, dia melahirkan dan membesarkan seorang pria yang kucintai dan sangat ku hormati sebagai suamiku. Cemburu? Aku cukup sadar diri untuk tidak cemburu pada wanita pertamamu itu. Beliau menyayangi aku dan mengurusku sama baiknya dengan kau memperhatikan aku, aku mencintai beliau hampir sama dengan aku mencintai ibuku sendiri.
Tapi ini bukan tentang masalah dengan ibumu, tidak ada sedikitpun hak-hakku sebagai istri yang direbutnya dariku, pun tidak ada kewajibanmu sebagai anak yang kau lalaikan terhadap ibumu, sepenuhnya aku setuju kewajibanku untuk melayanimu dan kewajibanmu adalah tetap kepada wanita pertamamu.
Mungkin ini hanya masalah pembawaanku yang kau sebut 'drama queen' itu, pemicu yang sangat sepele tapi membuat hati istrimu ini kacau balau galau tak menentu sepanjang hari dan menangis di sepanjang perjalanku menuju tempat kerja. Dalam rumah besar kita memang hanya aku satu-satunya wanita yang bekerja secara shift, setiap hari menghadapi macetnya jalanan ibu kota, stress karena beban pekerjaan dan segala macam bentuk pekerjaan lain yang membuatku begitu lelah saat tiba di rumah. Kita sepakat bahwa masa depan kita butuh biaya yang sangat besar, karena itu selain bergantung padamu aku rela tidak tidur semalaman demi uang lemburan agar masa depan kita esok bisa lebih mudah. Tapi sayang, betapapun kau ingin kita berhemat dan menyimpan uang kita aku tetaplah seorang wanita yang punya kebutuhan, punya keinginan terlebih dengan beban kerjaku dengan waktu yang panjang dan kadang membuatku jenuh. Aku sadar aku bukan manajer keuangan keluarga yang handal, karena itu aku setuju kau yang mengatur seluruh keungan keluarga besar kita, sebanyak apapun uang yang kau beri untuk keluargamu apa pernah aku menggeleng keberatan atau tidak setuju? Merengut seharian karena baju baru, blender baru atau sekedar uang jajan untuk adikmu? Karena aku sadar itu juga masuk dalam kewajibanmu pada keluargamu maka aku paham dengan sangat baik. Aku menahan diri untuk tidak banyak menuntut darimu karena aku masih punya penghasilanku sendiri untuk kebutuhan pribadi dan untuk keluargaku sendiri, aku tidak menuntutmu dengan nafkah sekian juta bahkan tidak meminta untuk membiayai keperluan pribadiku padahal jika mau aku bisa menuntutmu lebih untuk nafkahku sebagai istri, tidak sayang... aku bukan wanita rakus karena itu kau menikahiku bukan?!
Kita berdua setuju aku ini manusia yg cukup boros dan kita sepakat kau yang mengatur keuangan keluarga, tapi kau tidak tahu bulan ini aku cukup berhemat dengan ongkos kerjaku untuk membeli kado ulangtahun untuk ibuku sendiri.
Yang membuatku cukup terluka saat aku sedang menghitung sisa ongkos bulan ini kau malah bergurau tentang kelemahanku mengenai boros dan jajan.
Duh sayang, tidakkah kau sadar bahwa kau yang seharusnya mencukupi kebutuhanku setiap hari, memastikan bahwa istrimu tidak kekurangan hal apapun baik materi maupun waktu yg berkualitas untuk sekedar berbincang dan bermanja pada suaminya. Aku berhemat untuk kado ulangtahun ibuku, bukan meminta uang kepadamu dan memaksamu mencarikan uang banyak untuk keluargaku.
Aku tidak meminta harta yg banyak padamu jika aku harus kehilangan cinta dan perhatian dari pria yang kunikahi atas nama cinta, aku tahu kau mengejar ambisimu untuk membuktikan pada dunia bahwa kau mampu, kau bisa dan kau hebat dengan segala keterbatasanmu saat ini. Tapi apa artinya semua kehebatan itu jika tak lagi kutemukan sosok yang dulu membuatku merasa kuat, yang membuatku merasa tak pernah sendiri, yang membuatku berani dan yakin menjauh dari keluargaku yang menentang pernikahan kita dulu. Jika akupun harus kehilanganmu yang ditelan ambisi maka aku tak punya siapapun lagi kecuali Tuhan bersamaku.
Aku tahu aku tak akan pernah bisa melampaui kepentingan ibumu karena bagaimanapun juga aku tetaplah wanita kedua bagimu dalam rumah besar kita, ini memang jauh dari impianku dulu untuk menjadi ratu paling cantik dan paling disayangi dalam rumah tanggaku sendiri, tapi aku menjalaninya agar kau terjaga dengan baik saat aku bekerja, agar kau merasa nyaman dan bahagia selalu dekat dengan wanita pertamamu.
Aku mencintaimu dengan seluruh cinta yg kupunya, karena itu aku menyerahkan nasib, hidup dan surgaku kepadamu, melepaskan dengan paksa tanggung jawab orangtuaku yg sejak dulu mengurusku ke tanganmu yang kupercaya dengan segenap jiwa.
Maaf atas sikap 'drama queen' yang kau nikahi satu paket dengan segala kekuranganku yang lain, maaf jika aku tidak cukup sempurna untuk menerima semua kekuranganmu dan selalu menuntut lebih hingga kau merasa terbebani.
Dan maaf jika kau harus menikahi seorang perawat dan juga seorang penulis dengan sikap 'drama queen' yang kadang membantuku untuk membuat cerita dan mengolah kata.
Rasa sakit dan rasa marahku tidak akan pernah bisa bertahan lama, ketika airmata ini kering dan ketika kecupan hangatmu sudah kudapatkan nanti semua sedih dan marah ini akan sirna tak berbekas berganti menjadi cinta dan kerinduan yang besar seperti biasanya.
Maka sebelum kesedihan ini berlalu, sebelum aku lupa karena tertutup rasa bahagia bersamamu aku ingin kau tahu dan mengerti.
Terimakasih untuk bersedia menikahiku dan maaf jika hingga saat ini aku belum mampu jadi istri yg cukup baik bagimu.

Love,
Ur 'drama queen' wife.
Wanita keduamu.